Oleh: Awaludin Ketua Umum PKC PMII Sultra
Portalterkini.com,- Kendari – Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Tenggara yang didorong oleh Gubernur memicu tanda tanya besar.
Untuk siapa sebenarnya kebijakan ini dirancang ?, Alih-alih berpihak pada masyarakat lokal di wilayah rentan seperti Pulau Kabaena dan Wawonii, kebijakan ini justru membuka jalan legalisasi tambang nikel di dua pulau kecil tersebut, padahal keduanya memiliki fungsi ekologis vital dan dihuni oleh komunitas yang menggantungkan hidup dari tanah, hutan, dan laut.
Berdasarkan UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, aktivitas pertambangan di pulau kecil sangat dibatasi karena risiko ekologis yang tinggi. Pulau Kabaena dengan luas sekitar 874 km² dan Pulau Wawonii seluas 705 km² masuk dalam kategori tersebut.
Dalam ketentuan pasal 23, eksploitasi tambang dilarang jika berpotensi merusak ekosistem dan mengancam mata pencaharian masyarakat. Namun dalam revisi RTRW yang didorong Pemprov Sultra, larangan ini tampaknya dikesampingkan demi investasi dan industri ekstraktif.
Salah satu perusahaan yang mendapat sorotan tajam adalah PT Tonia Mitra Sejahtera (TMS) yang beroperasi di Kabaena. Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI (2023), PT TMS disebut melakukan pelanggaran administratif, termasuk tidak melaksanakan kewajiban reklamasi tambang dan beroperasi sebagian di luar wilayah izin.
Namun bukannya mendapat sanksi, perusahaan ini justru mendapat angin segar dari revisi RTRW yang memperluas ruang legal operasi mereka. Ini menimbulkan kecurigaan bahwa ada afiliasi politik antara TMS dan Gubernur, mengingat sejumlah nama dalam jajaran komisaris TMS disebut pernah berada di tim sukses ASR pada Pilgub 2024.
Dalam konteks ini, RTRW tampak lebih sebagai alat politik dan ekonomi bagi elite, bukan sebagai peta keadilan tata ruang untuk rakyat. Kebijakan ini tidak melalui proses partisipatif yang inklusif, masyarakat adat, petani, dan nelayan di Kabaena dan Wawonii tidak dilibatkan dalam penyusunan dan evaluasi dokumen. Padahal, dalam Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN No. 11 Tahun 2021, partisipasi publik merupakan syarat sah dalam setiap proses revisi RTRW. Jika syarat ini diabaikan, maka kebijakan yang lahir dari proses tersebut secara substantif cacat dan penuh konflik kepentingan.
Pulau Kecil, Tambang, dan Ancaman Kehidupan
Dampak tambang nikel terhadap kehidupan masyarakat pulau kecil telah banyak dikaji. BRIN (2022) dalam kajiannya tentang Pulau Kecil di Sulawesi menyebut bahwa kegiatan tambang menyebabkan degradasi kualitas air tanah, peningkatan sedimentasi, dan rusaknya daerah tangkapan air. Di Kabaena, hal ini nyata terjadi. Warga di Kecamatan Rumbia dan Rarowatu Utara melaporkan makin sulitnya memperoleh air bersih, serta meningkatnya ancaman longsor akibat bukaan lahan oleh perusahaan tambang.
Selain lingkungan, kehidupan sosial-ekonomi masyarakat juga terancam. Riset oleh Latief et al. (2021) dari Universitas Halu Oleo menunjukkan bahwa hanya 12% masyarakat lokal Kabaena yang mendapat pekerjaan tetap dari industri tambang, sementara kerugian petani dan nelayan akibat rusaknya ekosistem melebihi nilai ekonomi yang diterima dari tambang itu sendiri. Artinya, yang diuntungkan hanya korporasi dan kontraktor, bukan masyarakat lokal.
Tidak berhenti di situ, warga yang menolak tambang kerap mengalami represi. Koalisi Advokat Rakyat Pulau Kecil (2022) mencatat ada setidaknya enam kasus intimidasi dan kriminalisasi terhadap warga Kabaena yang menolak aktivitas PT TMS. Hal yang sama juga terjadi di Wawonii, di mana ekspansi industri tambang memicu konflik lahan dan penangkapan warga. Fakta ini menunjukkan bahwa tambang bukan hanya mengganggu ekosistem, tapi juga memecah komunitas dan merusak tatanan sosial.
Melihat kompleksitas dampaknya, mestinya revisi RTRW menjadi instrumen proteksi ruang hidup rakyat, bukan instrumen pengesahan ambisi bisnis elite. Namun yang terjadi justru sebaliknya: pulau kecil dijadikan objek kapitalisasi, dan rakyat hanya jadi penonton dalam pengambilan keputusan yang menyangkut hidup mereka.
Untuk Siapa RTRW Ini Disusun?
Pertanyaan krusial yang harus terus diajukan publik adalah: untuk siapa RTRW Sultra ini dirancang? Jika jawabannya adalah untuk masyarakat, maka seharusnya tidak ada ruang bagi tambang di wilayah yang menurut hukum harus dilindungi. Jika jawabannya adalah untuk lingkungan, maka RTRW harus memuat zonasi konservasi dan perlindungan ruang hidup. Namun jika jawabannya adalah untuk PT TMS dan afiliasi politik ASR, maka rakyat punya hak untuk menolak.
RTRW seharusnya menjadi arah pembangunan berkelanjutan yang mengakui hak masyarakat adat, menjamin keberlangsungan ekosistem, dan menyeimbangkan kepentingan ekonomi dengan keadilan sosial. Tapi fakta di Sulawesi Tenggara menunjukkan arah sebaliknya: ruang diatur bukan untuk rakyat, melainkan untuk elite politik dan korporasi tambang.
Dalam konteks ini, Gubernur harus menjelaskan kepada publik: apakah revisi RTRW ini merupakan upaya perlindungan ruang hidup rakyat Sultra, atau hanya akal-akalan legal untuk memuluskan kepentingan perusahaan yang diduga terafiliasi dengan dirinya? Jika tidak mampu menjawab, maka publik berhak menyimpulkan bahwa RTRW ini untuk Gubernur, bukan untuk kaum pedalaman.